“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al Qhashas 27: 77)
Ayat tersebut di atas dengan tegas memerintahkan agar umat Islam berusaha meraih kebahagiaan hidup di akhirat. Adapun meraih kebahagiaan hidup di dunia bukanlah yang utama, tetapi tetap harus dilakukan dan jangan dilupakan. Umat Islam tidak dilarang menjadi orang yang kaya, dan bahkan dianjurkan mencari harta yang banyak untuk kemudian dipergunakan sebagai alat untuk berdakwah. Sebagaimana istri Nabi, Siti Khadijah, dan para sahabat lainnya yang merupakan saudagar kaya, mereka mempergunakan harta mereka demi kepentingan dakwah Islam yang dipimpin oleh Nabi Muhammad saw.
Namun, untuk menjadi kaya raya memang juga bukan perkara yang mudah. Dibutuhkan keuletan, kegigihan, kecerdasan, dan keberanian dalam menggali rezeki Allah swt. Setiap manusia diberikan hak dan kesempatan yang sama untuk meraup rezeki Allah sebanyak-banyaknya. Tak peduli orang Islam atau bukan, Allah akan memberikan kekayaan kepada siapa saja yang berbuat dan berusaha. Masalahnya, kita seringkali tidak maksimal dalam melakukan sesuatu sehingga kita pun tidak mendapatkan hasil yang maksimal pula, atau bahkan gagal sama sekali. Nah, saat menghadapi kegagalan itulah sering kita merasa bahwa usaha kita sudah maksimal sehingga pada akhirnya kita pun menyalahkan takdir.
Menyalahkan takdir adalah ssesuatu yang salah. Allah swt. memberikan jalan yang luas bagi manusia untuk berbuat. Dan kalaupun hasilnya tidak maksimal, sebenarnya Allah tetap memberikan sesuatu bagi manusia, yaitu hikmah dan pelajaran.
“Today I can feel sad that I have no more money or I can be glad that the condition encourages me to plan my purchases wisely and guide me away from waste”. Hari ini aku bisa bersedih karena tidak lagi memiliki uang atau aku bisa senang bahwa kondisi itu mendorongku untuk merencanakan belanjaku secara bijak dan membimbingku agar tidak bersikap boros.
Dalam segala macam bentuk situasi dan kondisi, baik kelapangan atau kesusahan, yang dihadapi manusia, pasti ada hikmah yang bisa dipetik di dalamnya. Sebagaimana kutipan perkataan orang-orang bijak tersebut di atas, saat tidak memiliki uang pun sebenarnya kita justru bisa menggembleng diri sendiri agar bisa lebih bijak dalam mengatur pengeluaran dan agar tidak bersikap boros. Sikap seperti itu merupakan salah satu bentuk syukur manusia kepada Allah swt. atas kondisi yang ada. Ingat, segala macam situasi dan kondisi mengandung hikmah, dan oleh karenanya patut untuk disyukuri.
Mensyukuri segala yang diberikan Allah swt. adalah sesuatu yang bukan tanpa alasan. Dengan tegas dan jelas, banyak sekali ayat Al Quran yang menjanjikan keutamaan bagi orang yang bersyukur. Firman-Nya, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Q.S. Ibrahim 14: 7). Orang yang bersyukur diberikan keutamaan yang tinggi di sisi Allah karena memang sangat sedikit sekali manusia yang mau bersyukur. “…Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (Q.S. Al Baqarah 2: 243)
Memiliki uang yang banyak memang menyenangkan, tetapi belum tentu bisa membahagiakan. Uang yang banyak memang bisa menuntun orang menuju kepada kebahagiaan. Tetapi kebahagiaan tidak selalu bisa dicapai dengan uang. Orang bijak pun kembali mengatakan, “Happiness is inward, not outward. So it doesn’t depend on what you have but what you are”. Kebahagiaan letaknya di dalam diri, bukan di luar. Oleh karenanya ia tidak bergantung pada apa yang kamu miliki tetapi pada apa adanya dirimu.
MAPI Okt 2005
Ayat tersebut di atas dengan tegas memerintahkan agar umat Islam berusaha meraih kebahagiaan hidup di akhirat. Adapun meraih kebahagiaan hidup di dunia bukanlah yang utama, tetapi tetap harus dilakukan dan jangan dilupakan. Umat Islam tidak dilarang menjadi orang yang kaya, dan bahkan dianjurkan mencari harta yang banyak untuk kemudian dipergunakan sebagai alat untuk berdakwah. Sebagaimana istri Nabi, Siti Khadijah, dan para sahabat lainnya yang merupakan saudagar kaya, mereka mempergunakan harta mereka demi kepentingan dakwah Islam yang dipimpin oleh Nabi Muhammad saw.
Namun, untuk menjadi kaya raya memang juga bukan perkara yang mudah. Dibutuhkan keuletan, kegigihan, kecerdasan, dan keberanian dalam menggali rezeki Allah swt. Setiap manusia diberikan hak dan kesempatan yang sama untuk meraup rezeki Allah sebanyak-banyaknya. Tak peduli orang Islam atau bukan, Allah akan memberikan kekayaan kepada siapa saja yang berbuat dan berusaha. Masalahnya, kita seringkali tidak maksimal dalam melakukan sesuatu sehingga kita pun tidak mendapatkan hasil yang maksimal pula, atau bahkan gagal sama sekali. Nah, saat menghadapi kegagalan itulah sering kita merasa bahwa usaha kita sudah maksimal sehingga pada akhirnya kita pun menyalahkan takdir.
Menyalahkan takdir adalah ssesuatu yang salah. Allah swt. memberikan jalan yang luas bagi manusia untuk berbuat. Dan kalaupun hasilnya tidak maksimal, sebenarnya Allah tetap memberikan sesuatu bagi manusia, yaitu hikmah dan pelajaran.
“Today I can feel sad that I have no more money or I can be glad that the condition encourages me to plan my purchases wisely and guide me away from waste”. Hari ini aku bisa bersedih karena tidak lagi memiliki uang atau aku bisa senang bahwa kondisi itu mendorongku untuk merencanakan belanjaku secara bijak dan membimbingku agar tidak bersikap boros.
Dalam segala macam bentuk situasi dan kondisi, baik kelapangan atau kesusahan, yang dihadapi manusia, pasti ada hikmah yang bisa dipetik di dalamnya. Sebagaimana kutipan perkataan orang-orang bijak tersebut di atas, saat tidak memiliki uang pun sebenarnya kita justru bisa menggembleng diri sendiri agar bisa lebih bijak dalam mengatur pengeluaran dan agar tidak bersikap boros. Sikap seperti itu merupakan salah satu bentuk syukur manusia kepada Allah swt. atas kondisi yang ada. Ingat, segala macam situasi dan kondisi mengandung hikmah, dan oleh karenanya patut untuk disyukuri.
Mensyukuri segala yang diberikan Allah swt. adalah sesuatu yang bukan tanpa alasan. Dengan tegas dan jelas, banyak sekali ayat Al Quran yang menjanjikan keutamaan bagi orang yang bersyukur. Firman-Nya, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Q.S. Ibrahim 14: 7). Orang yang bersyukur diberikan keutamaan yang tinggi di sisi Allah karena memang sangat sedikit sekali manusia yang mau bersyukur. “…Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (Q.S. Al Baqarah 2: 243)
Memiliki uang yang banyak memang menyenangkan, tetapi belum tentu bisa membahagiakan. Uang yang banyak memang bisa menuntun orang menuju kepada kebahagiaan. Tetapi kebahagiaan tidak selalu bisa dicapai dengan uang. Orang bijak pun kembali mengatakan, “Happiness is inward, not outward. So it doesn’t depend on what you have but what you are”. Kebahagiaan letaknya di dalam diri, bukan di luar. Oleh karenanya ia tidak bergantung pada apa yang kamu miliki tetapi pada apa adanya dirimu.
MAPI Okt 2005